Pemerintahan Pontius
Pilatus menjatuhkan hukuman mati terhadap Yesus yang walaupun berdasarkan pengamatan Pilatus “bahwa tidak
ada suatu kesalahan yang didapatinya
pada diri Yesus yang setimpal dengan
hukuman mati” (Lukas 23:22). Rekayasa terhadap ketidakadilan yang dialami
oleh Yesus terus dilakukan oleh para imam kepala, tua-tua dan ahli Taurat.
Mereka terus mencari celah guna menjatuhkan hukuman kepada Yesus. Orang-orang
yang ada pada waktu itu pun mereka propokasi sehingga mereka membenci Yesus dan
mendesak Pilatus sebagai sang penguasa. Pilatus
sang penguasa itu pun tidak berdaya menghadapi tekanan yang begitu hebat,
sehingga untuk menyenangkan, dan desakan imam besar,
Imam-imam Kepala, tua-tua, dan ahli Taurat, bahkan orang banyak itu, vonis
hukuman mati dengan cara disalibkan pun dijatuhkan terhadap Yesus. Sebuah
hukuman yang sesungguhnya tidak layak diberikan kepada Yesus.
Pasca vonis hukuman mati yang ditujukan terhadap Yesus, kesadisan
demi kesadisan pun terus ditujukan kepada Yesus. Dimulai dengan penyiksaan yang
tiada duanya. Sebelum penyaliban dilakukan, para prajurit Roma melakukan
pencambukan dengan cambuk Roma (Flagellum),
sebuah cambuk yang sengaja dirancang untuk menyobek kulit sikorban karena
memang cambuk tersebut dilekatkan dengan serpihan-serpihan tulang dan
logam. Dan ketika pencambukan terus
menerus, luka robek akan semakin dalam lalu merobek otot-otot tulang dan
mencabik-cabik daging. Sehingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa dan tentunya akan terjadi pendarahan yang luar
biasa. Penderitaan itu semakin kompleks
manakala Ia dipaksa berjalan kaki sambil mengusung balok salib (Patibulum) yang beratnya 34-57 Kg menuju
Golgota (bukit tengkorak). Dalan perjalanannya menuju bukit tengkorak, tidak
jarang Tuhan Yesus terkapar ke tanah oleh karena beratnya beban yang Ia pikul.
Sementara tubuhnya kian melemah, otot-ototnya kaku, tenaganya terkuras habis.
Belum lagi sakitnya tendangan-tendangan serdadu Romawi yang dihujamkan
kepadaNya. Sampai-sampai Tuhan Yesus seperti domba yang dibawa kepembantaian.
Bukit tengkorak sebagai tempat terakhir dari ketidakadilan yang dipertontonkan
kepada Yesus, menjadi saksi bisu atas pendetitaan yang dialamiNya, lewat
penyaliban yang dilakukan oleh para prajurit. Penyaliban Romawi Kuno merupakan
kekejaman yang tidak tertandingi. Itulah
sebabnya bagi warga Negara Roma hukuman mati ini tidak dijatuhkan kepada
mereka. Cicero, seorang ahli pidato Roma (tahun 40 Sebelum Masehi)
menggambarkan penyaliban sebagai hukuman yang paling kejam dan menakutkan.
Salib Kristus yang berdiri diantara dua orang penjahat
menjadi puncak klimaks dari penderitaan Yesus. Di atas kayu salib yang berdiri
itu kini Yesus tergantung dan terbujur kaku. MulutNya bergetar, darah terus
mengalir dari bekas cambuk dan bekas paku yang tertancap di kedua tangan dan kedua kakiNya, kepalaNya
tertunduk kebawah takberdaya. Ditengah-tengah kengerian yang amat sangat itu
Yesus menunjukkan perwujudan kasih yang sesungguhnya. MulutNya yang kaku dan
gemetar itu masih sanggup berkata “Ya Bapa Ampunilah Mereka”. Sebuah pertanyaan
besar pun muncul dalam pikiran, bukankah selayaknya Yesus membenci
mereka-mereka yang menjatuhkan vonis hukuman mati, yang mengolok-olok serta
yang melakukan penyiksaan itu? Atau tidakkah selayaknya Yesus menggunakan kuasa yang ada padaNya atau
meminta sejumlah besar pasukan bala
tentara sorgawi kepada bapaNya guna menghalau orang-orang yang membenciNya.
Tetapi Yesus justru menunjukkan betapa besar kasihNya kepada mereka. Yesus
mewujunyatakan kasih yang sesungguhnya lewat penderitaanNya di kayu salib.
Tidak ada kata-kata celaan, hujatan yang keluar dari mulut Yesus. Tidak ada
kebencian, dendam pada diri Yesus. Tetapi sebaliknya mengucapkan sebuah kalimat
yang agung, mulia, dengan berkata “Ya Bapa Ampunilah Mereka”. Salib Kristus
menjadi ajang pembuktian kasih yang sesungguhnya bagi umat manusia.
Selamat Melaksanakan
Ibadah Jumat Agung (Jumat, 18 April
2014)
By: Pdm. Joel Nababan,
S.Th